Remaja Selamanya...! :sekelumit tentang “Antologi Badai”


Dhuh Gusti, musnahkanlah cinta-cinta palsu
Rumput-rumput liar yang menjadi inang di hatiku
Musnahkanlah cinta liberal
Terhadap wanita, harta, dan tahta
Ataupun ketenaran di tingkat manusia
Aku tidak bisa tenang dengannya
Biarkan aku hanya mementingkan penilaian-Mu saja!
.    .    .     .    .    .
Di sini, aku merupakan penulis yang namanya nempel di buku puisi “Antologi Badai”. Di sisi lain, saat ini aku lebih merasa sebagai pembaca saja. Yang tak tahu apa-apa, yang mencoba membaca dan terus menelusuri jejak-jejak diri. Mungkin ini karena ingatanku yang melemah akhir-akhir ini (memasuki ingatan yang lebih tinggi dan sensitif), juga anggapanku tentang masa remaja yang berharga dan penuh cerita, termasuk ‘kebingungan yang sakral’. Sebelum dibukukan pun, aku suka merapalkan puisi-puisiku sampai ingat betul sampai lost-meaning, sehingga aku betanya: siapakah diriku sebenarnya? Dan seperti apa diriku yang remaja dulu? Dari situlah terlibat pembicaraan dan perdebatan antara aku yang dulu, aku yang sekarang, dan aku yang mendatang, duduk bersama dalam suatu forum.  Di mana, aku-hari-ini berusaha menangkap pesan-pesan dari teks ke teks imajinatif yang diterbangkan oleh aku-yang-dulu ke aku-keabadian, lalu aku tarik ke sini agar bisa dibaca dalam konteks aku yang sekarang, untuk bawa dan alirkan dalam setiap langkah-gerakku. Dan ternyata, ada beberapa puisi yang sudah kadaluarsa, namun masih aku hargai dan baca. Ada puisi yang proses menjadinya masih belum selesai padaku hingga saat ini (realitas proses) dan masih terus kuperjuangkan. Ada puisi sebagai perjanjian yang tak boleh diutak-atik. Puisi yang menentramkan hati, ataupun puisi yang dulu sudah kejadian, namun kini aku tak sehebat itu.

Pertama-tama, mungkin sahabat merasa janggal dengan tulisan satu-praragraf di atas, kenapa kok ‘aku-sentris’ terus, berbicara tentang kedirian. Kata-katanya kurang rapi, istilah-istilahnya tak terlacak. Terjebak oleh ruang dan waktu? Atau mungkin kurang membumi? Ya begitulah bisaku. Namun aku ingin membela setiap orang bahwa dia itu punya perasaannya sendiri yang bebas dan merdeka. Boleh dicitrakan apapun sekreatifmu, tak usah takut dan tercekat.  Perasaan setiap manusia itu diakui di dunia ini seperti apapun bentuknya. Tak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah, karena setiap orang sama-sama mendalami dan merasakan. Kemudian lebih sering dimasuki saja. Tentang kedirian, karena termasuk juga kompleksitas kosmos diri luar-dalam yang beranekarupa multidimensi dan potensi manusia. Sahabat yang spiritualis akan menuduhku terjebak ruang dan waktu, ya, karena setidaknya aku masih tinggal di planet bumi. Dan aku lebih suka rasa-eksploratif daripada rasa-teoritis. Jadi ayo rayakan perasaanmu yang melimpah ruah dan kebebasan!

Lari pagi…
Bugar lagi…
Kubuang jauh sekrup-sekrup yang sudah lama membuatku kaku
Kucopot  isme-isme yang mengkotak-kotakkanku
Kutinggalkan  masalahku di jalanan  yang masih lengang
Kini aku bebas! Merdeka!
Jadi manusia baru  lagi!
Siap beraksi lagi!

Ah yasudah kukan mencoba membumikannya dengan pertanyaan: apakah kitab puisi “Antologi Badai” ini masih relevan di masa sekarang ini? Atau jangan-jangan, tak pernah sama sekali! (Karena psikologis remaja hari ini tak sampai.)

·         Tentang Putus Cinta pada Perempuan
Di suatu kelas akselerasi yang mencengangkan, Bu Inok Binawa, guru Bahasa Indonesia kami yang slalu muda, energik, dan humoris itu di tengah-tengah pelajaran sastra pernah bilang, “ Siapa saja yang kedatangan Cinta, maka sekejap saja dia akan menjadi penyair yang jago menuliskan puisi-puisi indahnya!”... “Maka berhati-hatilah sama Puji, kalau dia kasmaran, lalu menulis surat cinta, langsung klepek-klepek lah perempuan yang dipujanya itu.” Lalu meledaklah tawa teman-temanku. Dan aku malu-malu gimana gitu, saat dipacokin dengan teman perempuan sekelasku.  /duh begitu lemah ingatanku, dan begitu rindunya aku pada teman-temanku yang tak mungkin bisa seperti dulu lagi.

Sejak SMP memang aku sering terlibat suatu hubungan yang rumit dengan perempuan. Perempuan yang aku sukai umumnya ‘yang smart’, atau yang menjiwai hati, atau mungkin yang ekstrimis sekalian. Kami suka terlibat pembicaraan yang dalam; tentang kemiskinan, korupsi, keilmuan, psikologi, tentang aturan, idealisme, pemuda, dll. Biasa beraktivitas bareng namun hanya berani berpandang-pandangan saja, sebabnya mungkin jaman smp saya merupakan jaman transisi-generasi. Tidak seperti jaman sekarang yang serba-bebas dan sedikit kontrol. Dan pacaran bukan suatu alternatif solusi manakala hanya sebagai budaya pop yang tak bermakna, apalagi tak mengandung nilai kepedulian sosial, melainkan apatisme berdua saja. Selain itu, dari latar keluarga dan sosialku yang religiusitasnya kental, melarang dan mendoktrin keras bahwa pacaran itu haram! Sangat terkutuk sekali bagiku kalau sampai melanggar suatu hal yang sudah menjadi ketetapan. Waktu itu aku yang sholeh dan ngalim pun menyetujuinya, bahkan mendukungnya, dan tidak pernah bertanya. Menganggap bahwa itu merupakan suatu kebenaran yang final. Jadinya aku menganggap bahwa perempuan adalah sesuatu yang lain, seperti alien, dan begitu sakral, begitu suci, tidak untuk dikenali... Saat ini, sakralitas atas perempuan itulah yang mungkin sudah kadaluarsa, dan harus terus didekonstruksi, digempur untuk dikenali dan hati menjadi lebih lembut...

Sepi sendiri
Meninggalkan perempuannya
Agar suci

Di tengah keambiguan relasioner saat itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, tak punya kehendak, dan tak punya pilihan, gara-gara doktrin agama, hanya bisa menjadi ‘Generasi Onani’. Yah, cintaku juga pernah ditolak hanya gara-gara kita muslim.  Saat itu aku tercekat, seperti menabrak dinding raksasa, dan tak bisa menjawab apa-apa. Oleh karena itu, sampai hari ini, aku banyak-banyak mengkritisi agama yang melarang cinta. Lalu apa esensi dari agama itu sendiri? Untuk apa Tuhan kok mau-maunya menciptakan makhluk bernama manusia kalau tidak karena cinta? Tenaga apa yang mampu menggerakkan alam semesta? Kenapa perasaan dan nurani ini ada? Oh menjadi ingatlah aku pada sahabatku yang baik, yang lembut dan manis, hanya bisa membanting-banting kursi dan alat tulisnya karena stress. Hah dasar lelaki lugu nggak pekaan! Kekasihku yang itu memang selalu lucu. Sedangkan kekasih-kekasihku yang lain banyak yang dicuri, menjadi tumbal dari modernisasi. Bersoleklah, shopping (konsumerisme), dan hanya mementingkan urusannya sendiri, tak peduli pada kesusahan hidup orang lain di sekitarnya. Ya, itu salahku tidak melindunginya. Dan walaubagaimanapun aku hanya bisa berterimakasih penuh padanya.

Alpaku: Siapa aku, siapa kamu
Sepasang mata, sepintas beda
Barangkali sudah kering sungai-sungai
Tempat dulu kita sandiwara
Tinggal sisa riak air mata
Menawarkan samudra luka

Sepasang mata, sepintas beda
Dapat kuntilanak dari mana
Digendong menjadimu
Bercokol nilai-nilai tanpa muntah
Berjalan di gelombang entah
Berkudeta atas Tuhan,
Menghabisi jiwa, mengusir cinta...

: Wahai engkau yang mati bertahun-tahun lalu
Tanpa membalas kidungku
Bagaimana kabarmu?


·         Tentang Anak Yatim yang belum pernah sekalipun memanggil Bapaknya...

Sejak kecil dalam diamku, aku selalu iri pada temanku. Saat di masjid ada yang memangkunya, ada yang mengajaknya jalan-jalan, ada yang memberinya uang jajan yaitu melalui figur Ayah. Sedangkan aku sendiri, melihat Ayahku saja belum, apalagi memanggilnya, dengan sebutan apa... (Bapak/ Pakke, Ayah, atau apa?) Aku hanya mengenalnya dari cerita-cerita yang sampai padaku. Bahwa dulu Bapakku, Hadi Mustaq merupakan seorang kusir kereta kuda yang pemberani dan suka menolong tetangga/ di jalan. Bapakku seorang mistikus. Sekitar pukul 9, dia baru turun dari mesjid kemudian baru bekerja. Dia merupakan murid Mbah Lazim, seorang sakti kebal peluru dan yang sering menghilang dari penjara. Katanya, Bapak suka memberi mainan kami dengan ular sawah. Bapak juga sering belajar kitab-kitab kuno kepada sahabatnya yang sekarang jadi kiai di dusun kami. Maka, sosok/ figur seperti itulah yang selalu membersamaiku, berbisik, tersenyum, dan begitu kurasakan keterpengaruhan mistiknya yang segar melewati aliran darahku. (Di samping keterpengaruhan dari ibuku yang sosialis.)
Jadilah puisi ‘Oh, Bapak!’ yang pernah nempel di mading SMP. Tampak sebagai sosok imajiner yang turun dari langit dengan kereta kuda berselimut awan berkabut. Seolah raja yang pemberani lagi gagah perkasa dengan mahkota kebesaran yang tersemat padanya. Ia turun dengan pecutnya yang sakti, mencambuk kejahatan di muka bumi ini. Mungusir kerusakan moral dan membawa manusia pada pencerahan...
Bapakku lah yang menyeret matahari ke peraduan, bulan ke singgasananya. Membantu Tuhan mengatur alam semesta ini. Kini Bapak sedang duduk-duduk di langit ‘Arsy  sambil bersulang anggur dan bercanda dengan Tuhan, memandang ke bawah, dan melihatku beraksi.
Di buku Album Kenangan SMP, aku pernah menulis: Si anak botak, ingusan, sendirian, ngantuk di jalan,... dan seterusnya. Kemudian si anak tersebut dimakan dan dilahap oleh Si Bengis. Kepalanya jadi bakso. Terus dibikin sup. Si anak kecil dan korengan yang gelandangan dan kumuh itu milik siapa, siapa yang merawat dan peduli dengannya? ...Maka, jemputlah dia!
Seingatku, aku tidak begitu sedih karena mungkin dulu belum paham kesedihan itu apa, dan jarang khawatir karena untuk selanjutnya aku merasa Alloh-lah yang kemudian menjadi Bapak kami, dan mencukupi kebutuhan hidup kami sekeluarga. Umpamanya melalui saudara kami, paklek-bulek yang sudah menganggap kami anaknya sendiri, terus tetangga yang suka ngasih jajan dan membantu ibu kalau kekurangan. Ibuku menjadi sosok yang pekerja keras tak tertandingi, mulai buruh di sawah, jualan di pasar, bikin tempe, timus, dll ia geluti dan jarang tidur lama. Kehebatan Ibuku, Ny. Zamzarotun itulah yang mengantarkan anaknya ada yang jadi filsuf, dokter, jadi guru, seniman, dan intinya tak harus punya jabatan untuk diakui ‘orang’, asalkan senantiasa humanis dan tolong menolong pada sesama. Dan masih banyak PR ke depan untuk membebaskan kaum mustadhafin seperti kita, supaya tak ada lagi orang yang susah.
Berhubung aku sudah mulai dewasa dan wacana ‘teologi pembebasan’ terus bergulir, pernah aku minta disapih pada Bapakku yang itu, untuk kemudian belajar mandiri, jalan sendiri, dan menjadi manusia yang merdeka lahir batinnya. Mencitrakan diri di bumi. Aku harus terus menerus keluar dan keluar dari kesempitan dan keterkungkungan diri, menebus Percandaan dengan Tuhan yang belum jua tertuntaskan, seperti dalam puisi ‘Duka Malam’. Diskursus keIllahianpun terus bergulir. Tuhan tidak hanya bisa dilihat lewat estetika perempuan, tapi juga lewat orang-orang miskin dan gelandangan, lewat orang yang kelaparan, pengangguran, lewat mereka yang sering dianggap kafir/ gila hanya karena tidak sesuai dengan isi kepala kita. . . masih sulit bagiku untuk menyapa mereka... membiasakan tersenyum dan tidak bermuka masam... Well, mungkin saat (sebelum) ini saya terlihat seperti gerakan profetik, tapi aku tak tahu apa yang menungguku di depan...
Alirkan jiwamu, Kekasihku, menuju samudra luas- tak berbatas, tak bertepi...

·         Tentang Perjuangan, Pemberontakan, dan Perlawanan
Aku selalu saja tak habis pikir, kenapa antar-manusia dengan manusia yang lain saling tega untuk menjahati, merampas hak, tanah, mencuri, bahkan korupsi/ memakan uang rakyat yang banyak? Tuhan Maha Baik, tapi kenapa di dunia ini penuh dengan kejahatan? Kemiskinan, kelaparan? Dan bahkan ada kejadian bunuh-bunuhan antarorang, perang, keluar darah... Hukum/ aturan diciptakan untuk mempermudah manusia, tapi kenapa malah aturan jadi mempersulit gerak kita? Dan sering hukum hanya milik orang yang punya duit saja, sementara orang miskin selalu menjadi korban dan tak ada yang bisa melindunginya. Itu di kancah atas, sementara di ranah masyarakat sendiri saling berebut harta, saling menumpuk-numpuk kekayaan, iri-dengki, pamer kekayaan, berlomba-lomba melengkapi perabotan rumah, dan meninggi-ninggikan rumah hingga tidak kenal tetangganya.
Aku yang innocent ini, gelisah! Dengan spiritualitasku yang kering dan lingkungan sekolah yang tak mendukung, aku memberontak mengikuti gerak gelisahnya jiwaku. Jangan hanya karena miskin, terus aku dihilangkan dari dunia ini, dibuang, dan tak boleh sakit, tak boleh sekolah. Sejak SMP-SMA aku cuma sekolah mungkin 4-5 hari dalam seminggu. Aku suka terlambat, baju dikeluarkan. Aku mau disabet satpam pakai rotan. Lari ke mesjid kalau pelajaran di kelas tak bermakna. Aku sering dicukur rambutnya sama guru dihadapan teman-teman. Sering dimarahi sampai berjam-jam di ruang BP. Diancam dikeluarkan karena point kenakalanku sudah lebih dari 100. Dan macam-macam, yang menjadikan ego kerdilku takut, tapi jiwaku tetap gelisah tak terbendung, tak terbohongi. Apakah ini pendidikan? Karena aku selalu merasakannya seperti terpenjara, masuk jam 7, keluar jam 2. Gerbang ditutup dan tak boleh keluar. Kalau sudah suntuk, aku dan sahabatku Ilham sering membolos dan naik ke Gunung Merapi, atau ke Borobudur yang tinggi. Meskipun kami anak IPA, tapi kami lebih suka bermain dengan anak IPS yang mengalami kegelisahan yang sama, dan menamai komunitas kami sebagai #School of Sucker! Aku dan Ilham juga sering bersosialisasi/ nongkrong di terminal bersama anak-anak dari sekolah lain, di Pasar Manuk, atau sama anak punx. Sedikit-sedikit di SMA kami juga sempat berkenalan dengan dunia seni magelang yang tua itu. Yah, kami berdua dikeluarkan dari kelas akselerasi/ kelas billingual/ kelas teladan karena suka telatan. Kegelisahan kami ini hanya dianggap kekonyolan dan kebandelan, dan selalu saja tak terpahami, kecuali oleh Sang Guru Sejati. Yang mengajar/ menjadi PNS tidak hanya karena upah semata.
Belajar
Sekolahku ya sekolahan
Tetapi juga terminal bus
Juga Pasar Umum Muntilan, Pasar Manuk, hingga Pasar Kramat
Paling ngeri pernah membeku di Gunung Merapi
Aku juga ada di candi-candi
Di Borobudur, seminggu sekali aku semedi
Dan andai saja sekolahan itu seperti taman kota
Sedemikian rupa alun-alun, tempat nongkrong kita
Pada perpustakaan, warisan peradaban juga tidak kulupa...
Di PS-an, di warnet aku sempatkan juga...
Semua kuniatkan untuk belajar
Guruku ya Bapak/ Ibu Guru
Tetapi juga para pengguna jalan, musyafir kehidupan
Anak-anak punx-lah sang filosof jalanan
Pengamen-pengamen ialah seniman yang terabaikan
Sementara para brandal hanyalah peran, mereka sama baiknya dengan kita
kusowani juga para pengangguran, ialah pengamat gejolak perokonomian
Hanya kebetulan saja mereka yang kena timpangnya
Kepada para pedagang, seniman, budayawan yang ulet dalam kenjlimetannya...
Dan pelajar yang berniat belajar dengan semangat yang tinggi...
hidup menjadi ‘hidup’!
Aku tidak mau kalah dengan mereka semua...
Kan kukuras ilmu sekering-keringnya...

Sampai hari ini, begitu kentara dalam puisi esai kebudayaan berjudul “Badai”, terkadang aku asketis / khusyuk demi kesucian dan keluhuran hidup. Namun, nampaknya, hal ini harus terus-menerus digempur juga. ‘Tolak kemunafikan dan sikap sok suci!’ Karena dimungkinkan di dalamnya bersemayam jiwaku yang pengecut dan pecundang, yang mengatasnamakan kebenaran. Dan aku mengamini ke relatif an manusia. Sehingga, aku memaafkan kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Karena itu hanya merupakan perilaku tidak sadar dari dalam dirinya. Contoh saat tertekan, saat kecepit dan butuh uang, saat kelaparan yang melilit, saat tertipu oleh gemerlap dunia. Sehingga harus sadar sesadar-sadarnya hingga mencapai puncak eksistensi, yaitu insaf... menyadari kerelatifan diri ini. Dan bersyukur sudah diberi hidup. Aku juga sudah melakukan penelusuran dunia paralel, hingga sampai esensi, jaring-jaring manusia yang saling terhubung, wajah-wajah, dan berbagai upaya lintas perspektif dan pemahaman. Jadi, apapun ideologimu (entah itu spiritual/ material), yang penting hadirlah untuk membela kemanusiaan! Karena kita adalah manusia (bukan Dewa). Manusia harus mampu mengatasi problem zamannya, termasuk efek ciptaannya: seperti teknologi, hukum, dll, manusia harus mampu mengatasi apapun! Karena kita adalah manusia. Semuanya untuk manusia...,

Akhirnya, saya iseng deh membukukan “Antologi Badai” yang seadanya ini sebagai sarana dan upaya saya untuk belajar dan latihan, soal editing, pemilihan puisi, makna, teks, narasi dan cerita, pemahaman, efek, teologi, publishing, dll. Agar terlihat ada karyanya, tidak diem terus. Terus smakin naik. Dan untuk mendokumentasikan karena akhir-akhir ini saya pelupa dan suka sedih karena kehilangan teks. Disini aku memang belum ahli memasuki dunia terdalam dalam bahasa, namun justru aku menawarkan OUT of THE WORD, yaitu bahasa/ puisi bukan di teks/ kertas, tapi di laku, di gerak, di jalan raya, di aksi. Dan itu sungguh menantang sekali! Trims atas apresiasinya, yang mau beli silahkan minta diskon ke saya. Yang gak ada uang bisa pinjem bukunya di saya untuk dibaca, saya udah senang sekali. Dan lebih senang lagi kalau dikritik habis-habisan. Thanks!
Dari Jalan Lain
Aku
                        Menemukan
    sebuah
                                    pemikiran
                                    dari
                        jalan
lain:
                                                aku
                                                ini
                                                masih
                                                entah...

Posting Komentar

1 Komentar