Saya dan Campus Anomalie.

Saya pernah terlibat aktif dalam organisasi LDK, KAMMI, di Kampus. Di LDK (Lembaga Dakwah Kampus) saya masuk di divisi Isu dan Keumatan. Yang bertugas menghidangkan isu-isu yang sedang menggejala / menggelisahkan di tengah masyarakat, contohnya seperti isu Miss World di Indonesia, pemikiran feminimisme Amina Wadud yang pernah memimpin shalat berjamaah suatu kali, lalu merespon isu-isu tersebut berdasarkan musyawarah dan forum kami. Ketika saya sudah menyatakan diri mengikuti suatu organisasi, saya akan komitmen dan militan dengan pilihan tersebut.  Ketika saya menjadi panitia TEKAD (Training Dasar Kepemimpinan)pun, saya terkenal paring garang sebagai trainer sehingga adek tingkat merasa segan dengan saya. (salahsatu Game zone nya yaitu berperang dengan cara melempari dengan air dan misi kami adalah bekerja sama untuk melindungi pemimpin kami agar tidak terdeteksi.)
untuk hari-hari setelahnya, dan saya pun bosan juga dengan penghormatan mereka padaku, lalu mereka juga mulai bosan menghormatiku. Saya keluar dari LDK karena  pada saat TEKAD, datang orang-orang asing yang oleh pembesar kami disebut sebagai bagian dari divisi LDK yang belum pernah kami dengar sebelumnya, toh mereka juga belum pernah ikut training pra-masuk, dan saya tahu wajah-wajah itu adalah anak-anak KAMMI. Saya bertanya pada pada panitia2 TEKAD (angkatanku) mereka tak tahu-menahu. Di mana independency LDK yang dulu sempat saya tanyakan pada akh. Arief (ketua saat itu) pas awal saya masuk ? Selain saya, beberapa anak non-KAMMI pun mulai mundur secara teratur dan sejak itu simpati saya pada kedua organ tersebut hilang sudah!
Di organisasi tersebut saya bersahabat akrab dg Akh Syarqim, Dwik, Ilham, dkk dan sampai sekarang msih kuanggap sahabat dekat meskipun saat ini kalau kita ngobrol susah nyambung, dikarenakan dunia dan pengetahuan, pengalaman kita sudah jauh berbeda kali ya? Tahun lalu Akh Syarqim jadi ketua PKK di fak.SAINTEK. Tahun lalu Akh Asep yang (entah kebetulan atau tidak) dua-duanya merupakan ketua LDK UIN Sunan Kalijaga. O ya saya jugapernah  ikut UNASCO (UIN Nasyid Comunity) yang diasuh oleh munsyid Firas Bissy. Di sana saya juga bertemu Akh. Firly ketua KAMMI yang kemarin sempat launching buku “Islam Bukan Liberal” di teatrikal SAINTEK, suatu judul buku yang begitu blak-blakan dan sangat liberal sekali. Aku ingin datang dan menolaknya, atau memberikan cakrawala baru padanya, tapi ah buat apa. Konon katanya ia juga gardep Islam Anti-JIL untuk wilayah Jogja. Di SAINTEK saya juga bersahabat dengan ketua FkisT (forum kajian islam-sains) saat ini, karena satu organisasi voluntering di Pusat Layanan Difabel, namun lantas kemudian ia merasa dimodusin olehku, jadi aku diblacklist dari pertemanannya. Di SAINTEK saya pernah bergabung dengan MAJLUGHA (majelis bahasa arab) dikarenakan ketuanya adalah kakakku di takmir mesjid Al-Iman, dusun Nggendeng. Namanya Mas Pujo. Kalau Anda mengenalnya pasti bakalan ketawa. Mas Pujo lebih dominan bahasa jawanya dengan guyonannya yang khas.. Saya juga pernah ikut HMI sebentar untuk berusaha mencari sekutu dalam hal meruntuhkan PKK di SAINTEK. Karena alasannya: (1.) membelenggu kesadaran. Masak ya iya sudah kuliah tapi masih ada corak pendidikan mentoring dan mewajibkan ini itulah yang dilakukan oleh kakak tingkat (MP). (2.) PKK menjadi sarang tumbuh kembangnya suatu organ politik tertentu di kampus (kaderisasi dan perekrutan anggota). Hampir satu teamku ikut satu organisasi yang sama. Tahulah apa. (3.) pembodohan terselubung karena berusaha mengcounter pemikiran sains secara fitrohnya bebas dan menyebabkan SAINTEK UIN gak maju-maju. (3.) PKK menggunakan metode liqo’/ tarbiyah/ mentoring dengan materi mengaji, tahsin, hafalan surat, muatan islam, al matsurot.. hal itu mirip dengan organisasi Ikhwanul Muslimin/ PKS kalau di Indonesia    .. Namun, sampai sekarang masih Ada !
DI UIN saya berkesempatan menganut “dualisme perkuliahan” yaitu di SAINTEK(biology) dan USHULUDIN(filsafat). Namun toh saya masuk di jurusan-jurusan lain seperti di kelasnya Bu Labibah Zein ,  (pendiri blog fam)  di Ilmu Perpustakaan. Dan saya tidak belajar salah satu ilmu tersebut (sebagai sesuatu yang terpisah), namun semuanya kuniatkan karena belajar “ilmu Alloh”. Toh ilmu di kelas masih begitu sempit dan pengap. Saya terus menerus menggempur diri saya baik dengan takut ataupun cemas. Hampir setiap hari saya bersyahadat ketika awal-awal mau belajar filsafat karena isu-isu dari orang luar yang tidak baik. Berfilsafat bagi saya merupakan kewajiban kita sebagai manusia, biology merupakan hoby saya sejak kanak-kanak. Bagi sayap kanan organ di Kampus, saya terkesan dan dicurigai begitu liberal dan kiri. Namun teman saya dedengkot HMI Dipo yang kiri bilang, “Jangan terlalu kanan lah !” Ibarat berjalan, saya bisa kesrimpet dan jatuh ! Seakan tidak ada tempat bagi saya di dunia ini.  Waktu itu saya menganut Teori Jalan Tengah Aristotles, dan mengatakan bahwa filosof adalah “penjaga gawang kesadaran masyarakat” agar tidak terlalu njomplang ! Sejak saat itu saya punya idealisme untuk meruntuhkan organ PMII dan lebih pro-HMI. Kenapa ? Karena PMII di UIN Sunan Kalijaga sudah teramat besar, dan ketika organ itu makin besar maka akan terjadi penuaan berupa biasanya terjadi dekadensi moral. Karena menang bolo (banyak massa), teman-teman PMII sering bertingkah seenaknya dan sukar dikritik. Dengan jargon kesadaran transformatif’ , mereka mulai menghegemoni OSPEK, Pemilwa yg kurang sehat, BEM,  lembaga kampus, kongkalikong dalam birokrasi dan akademik, dlsbg.  Agar selamat dari marabahaya ini, selain PMII harus ditandingi dan dikalahkan. Jalan lainnya yaitu PMII harus mendekonstruksi dirinya sendiri dari dalam. Dan ini susaah.. Sampai sekarang masih begitu adanya. Secara GeNeRaL, organ uin masih satu komando satu tujuan dalam hal PRO-RAKYAT KETCIL ! Kampus putih, kampus rakyat, kampus Perlawanan !  Oiya, civitas UIN sendiri multietnis, namun etnis yang terbesar yaitu Madura, unik mysterius, dan hebat-hebat! Saya menyebutnya: pulaunya para penyair... Ce.nya lembut-lembut dan manis-manis dan saya ingin sekali tinggal di sana entah kapan. (dalam kehidupan yang singkat ini). Saya juga punya keinginan tinggal di luar Pulau Jawa, di tempat terpentcil yang tak terdeteksi serch angine google.
LAMBANG-LAMBANG yang tidak Penting.↑
Makna Campus Anomalie: ↓
(selain kampus rakyat, kampus putih, kampus perlawanan) Disebut Campus Anomalie karena bagi saya kampus UIN sunan kalijaga sampa hari ini menjadi lahan  yang subur untuk bereksplorasi maupun pencarian jati diri. Ketika kampus lain terkesan sekuler, UIN Sunan Kalijaga terisolasi dari evolusi modern yang menjadikan karakter kemunculannya sebagai unik dan khas. Faktornya baik geografi maupun pemikiran yang harus terus menerus dipelihara lintas generasi, jika TIDAK maka kampus UIN bisa menjad Kampus Kapitalis yang hanya mengejar keuntungan dan melahirkan tenaga kerja siap ditelan pabrik seperti ungkap Paulo Freire.  Di sinipun saya sering melihat sosok-sosok penampakan gendruwo, kuntilanak, label produk berjalan, yang asyik ngobrol dan gadgetan saja siang bolong. Kondisi Anomalie mengacu pada istilah Albert Camus mengenai kondisi ketidakbermaknaan dan kehambaran hidup. Dan Anomalie bisa juga diartikan sebagai pergeseran paradigma (Thomas Khun) menuju sesuatu yang lebih berarti lagi. Kondisi Anomalie dan Absurditas hidup menjadi pintu gerbang saya berkenalan pada dunia sastra aleniasi seperti Kafka, dunia ilusi dan mysticism ilmiah, science fiction D’Vinci, dunia detektif dan detak ketakutan yang dahsyat, bahkan paralellisme nihilistik,.....
 Saya pernah mengalami kondisi krisis dan kehampaan dan tidak ikut organisasi apa-apa, dan itu membuat hidupku merasa tidak berguna. Saya pernah menjadi mahasiswa apatis dan tanpa tujuan hidup. Namun saya tidak bisa bertahan lama. Saking mumetnya, kesadaranku mluwer-mluwwer memasuki dunia android, saya melihat di kampus banyak gendruwo, kuntilanak, brekasakan, manusia pohon pisang, dll tengah berm ain gadget pula. Akupun salto sebanyak tiga kali untuk mengembalikan kesadaran otentikku. Sorenya aku menggundulkan kepalaku dan kembali menjadi lelaki filantropi. Saya mendafarkan diri menjadi relawan di Pusat Layanan Difabel dan tergabung dalam komunitas Forum Sahabat Inklusi (Forsi). Di sana anak-anaknya gokil-gokil semua, kami kenal dekat dan akrab, dan saling sayang menyayangi, dan peka sekali perasaannya. Ada satu mahasiswa unik yang bernama Chaca, dia seorang deaf/ tuli. Dia cerdas sekali dan berbakat dalam bahasa inggris, trainer, modelling, dancing, dll.  Dia seorang Kristen, dua gender, dan pintar tarot. Saya yang waktu itu kejawen, jugapernah  bergabung dengan grup karawitan KALIMASADA, yang mempertemukanku dengan Mbak Wachyu, ketua yang punya mata indah berkilau dan susah dilupakan. Selain itu saya juga sempat mengikuti kegiatan JCM(Jamaah Cinema Film) dan bersahabat dekat pula dengan Tifa, Alan, Watix, Ajeng, Na Aini, Budi, Adam, Aziz, Fitri, dll. Anak film biasanya memperlihatkan sikap hedon pada temannya danmulutnya  harus kuat ngomong untuk bisa eksis hehe. Saya keluar karena saya terlalu kejam pada teman saya dalam suatu produksi film. Niatnya mau  mengkritik film, eh malah talentnya yang nangis,,.. padahal ia begitu baik padaku dan aku sudah menyakitinya. Di hampir setiap organisasi/ kegiatan sering saya terlibat cinlok di sana. Saya tidak bisa melupakan Tifa, seorang yang sudah banyak mengajari saya tentang persahabatan,  permainan truth or deer!, dan sifat keterbukaan yang murni. Tidak ada hal yang tabu bagi kami untuk dibicarakan. Namun mungkin aku terlalu egois, dan mementingkan kebingungan pikiranku yang menyebalkan ini, sehingga ceritapun harus beralih. Kabarnya ia sudah jadi ketua JCM sekarang. Aku sering bertengger di ddekat Sungai Gajah Wong dan menunggunya. Namun sekarang aku pindah kost seiring gerak gelisahku, karena kegelisahan pula aku pernah menjadi takmir mesjid dan kemudian keluar darinya, pernah juga saya bergabung dalam MLM pulsa ataupun obat cina dan cepat punya downline banyak, namun karena alasan tertentu aku keluar lagi dan ada downlineku yang aku ganti rugi dengan uangku sndiri, ada yang tidak, saat inipun, hari-hari terakhir di campus, aku menyempatkan diri bekerja parttime di suatu percetakan map dan ijazah.  Di produksi saya pegang mesin.  O ya saat KKN entah kenapa saya juga terlibat cinlok hebat padahal saya tidak pernah meniatkan untuk itu. Saya dengan Sri mblasak-mblasak berdua di persawahan untuk mencari damen sebagai dekorasi seni. Kita berdua juga keliling-liling jogja dan laboratorium. Saya teringat juga dengan Titha dan Diah yang mengajari ku banyak hal. Mereka berdua begitu carefull dan pernah berrebut untuk menyetrikakan bajuku sewaktu mau pentas. Kemudian, di suatu sore menjelang akhir, Sri menyodorkan coklat padaku dan memintaku untuk menyudahi dan melupakan pengalaman kita yang teramat menggairahkan itu. Karena itu yang dia inginkan, jadinya aku mau dan langsung menghabiskan coklat itu dengan perasaan yang hancur luluh-lantak. Di kampus ketika ia jadi asisten praktikumku, aku nyaris tak mengenalnya dan cenderung melecehkannya.
Bagiku, sekali kekasih, selamanya ia kekasihku. Tidak kenal putus.. (tidak sedangkal pacaran). Dan sampai hari ini aku masih mendalami setiap perasaan yang hadir dari setiap kekasihku. Ada kisah yang tak tertuliskan di sini karena justru itu mungkin privat sekali. Saya dikenal humanis dan bersahabat dengn semua orang. Saya tak bisa menyembunyikan kemunafikan dan kebohongan dalam diriku. Menyatakan cinta bagiku adalah hal yang teramat sakral dan tak semua kekasih mendapatkan kesempatan untuk itu. Sekai aku bilang cinta, itu artinya aku sudah memperserahkan diriku untuknya dan pasang badan meski digilas truk sekalipun ! Banyak orang yang sering salah paham dan menuduhku macam-macam. Lebih baik  aku diam saja karena bahasa diam merupakan jalan untuk memasuki alam pengertian yang mendalam.  
Di kampus UIN saya juga merasa terhormat karena saya yang gagu bin ambigu ini pernah pentas bersama Gorong-Gorong Institut, Beralih nama menjadi Gorong-Gorong Istighfaar.  Baik di Label, maupun di Conventionall hall bersama Imana Tahira juga, (kawan dari JCM) .Terakhir kabarnya dari Mas Farid Paulus, katanya GGI sudah pidah dan sedang tampil di alam metafisik, di mana itu ? Bersama The Lord of Giarian Harik yang minggu lalu tampil monolog puisi-musik-instrument menjelang perpisahannya ke Jember dalam rangka KKN. Saya Cuma digeret oleh Ryan Zusdi, teman dan kakak saya yang lain daripada yang lain.  Dan pembawaannya begitu mistis sekali. Ia bilang saya sebagai Socrates yang hidup kembali karena kemana-mana selalu melempar tanya dengan metode ignorantia. Namun saya tak sempat mengatainya. Saya dengannya bagai Batman dengan Joker yang sama-sama kesepian dalam gemerlap dunia dan kitapun terlibat didalamnya. Dia menantangku ! Namun bukankah saya juga berhak menjadi Joker di dunia yang sudah kacauu ini ? Kami berdua seorang yang skeptisis, sehingga kalau sedang berkomunikasi berdua itu saling meragukan satu sama lain, namun itu sama sekali tak menghalangi kebaikan satu sama lain. Karena saking mumetnya, kami pernah berantem fisik di depan kantin dakwah. Saya tak sempat belajar musik pada sang maestro yang satu ini akibat ‘ketidakpercayaan’ satu sama lain, dan iapun agaknya pesimis terhadap dunia.
Di Kampus UIN saya benar-benar tidak bisa bergabung dengan organisasi besar di sana seperti ESKA, PMII, Nuun, dll karena saya mencurigai paradigma normal (Thomas Kuhn) yang sedang berjalan. Di dalam gelak tawa aku mendengar kabar bahwa mereka telah berkhianat pada kebenaran yang jerih-payah, dan tak mengindahkan Humanisme pada –yang lain.  Kalau Arena sendiri saya pernah mendaftar namun tak diterima sehingga bahasa tulis saya kacau balau seperti ini.  Organ yang masih pure memikirkan wong cilik menurut pedagang kaki lima adalah KeMPeD (Komunitas PetCah Ndase hehe ). Saya sering bertandan ke sekre nya minggu pagi selebas subuh setelah naik dari pergumulanku dengan Kali Gajah Wong. Di sambut hangatt sekali oleh Bung Opick, seorang Nabi pemamah biak kata-kata dan disana ada penyair yang kukagumi, Isma Swastiningrum (Arena) dan filosouf authentic Mas Broto, dll.   Aku bagi Eska hanyalah ‘adik tingkat’ dan teman kelas sesama filsafat. Di biologypun kami pernah merembung tentang Jalan Baru Biology yang Sosialis di Masjid Jendral Sudirman bersama para pembesar, namun ketika gagasan itu terwujud, aku harus siap kecewa pada khalayak banyak yang dimungkinkan terjadi reduksi makna dan dekadensi. Aku harus menyingkir ke tempat paling sunyi dan paling gelap, menghilangkan jejak hidupku dari semua-muanya. Saat liburan saya bersama teman-teman dusunku berkesempatan mendirikan Taman Baca Cahaya Pelangi yang sempat ramai dan mendadak sampai pada puncaknya dan setelah itu bingung mau apa.. apakah spiritualitas taman baca itu masih kita bawa Kawan? Saat ini saya hanya bergaul dengan orang-orang tertentu yang didatangkan oleh masa ini, dan tetap membaca buku, membaca setiap kejadian, bahwa aku tak pernah bisa mati atau dimatikan. Karena aku sudah berkali-kali mati, dan aku selalu bisa bangkit lagi ! Terimakasih kuucapkan pada Mas Iwan dan keluarga besar SLoRock Management yang saat ini senantiasa menyempatkan waktu menemuiku, dan teman-teman Sajak Kolong Kampus (SKK), kumpulan penyair pembaharu yang masing-masing unik dan sama sekali berbeda dari sebelum-sebelumnya. Kegelisahan akan makna kebenaran yang pasti selalu saja menyerangku, maka aku teruskan serangan itu pada orang-orang. Jika tidak, aku bisa sakit-sakitan.
   Saat ini saya sedang merasakan Kematian Existensial di kampus atau merasa dunia kampus sudah tidak cocok untuk menampung kegelisahan yang semakin membun-bun. Aku butuh Dunia yang lebih Besar lagi untuk menyalurkan kegelisahanku dan tak sembarang orang bisa menangkalnya. Aku dkenal pandai menghimpun massa dan meyakinkan orang untuk ikut organ tertentu atau membeli sesuatu, namun riyadhohku adalah menepiskan itu semua ! Karena aku tak butuh kekuasaan. Saat ini aku menggarap dua hal secara bersamaan yaitu penelusuran kembala pada akar primordial saya dan diharapkan bisa menjadi intelektual organik bagi pedesaan ku. Dan satu lagi yaitu corak hidup nomadian ethic seperti Kaum Hippies (dalam film Schoo be Doo be Doo), ke mana-mana sebagai warga dunia tidak terjebak rumah-rumah (baca: Anti-Oedipus: Schizoprenia & Capitalism). Jika Nietzche pernah menulis The Birth of Tragedy terpengaruh oleh pesimisme Schopenhauer, maka saya tetap berdiri pada Birth of Hope. Kelahiran adalah harapan bagi peradaban yang saling diwariskan dan disambung-sambung lintas zaman. ..............Oh ya, saat ini saya seorang anti-politik !




Posting Komentar

0 Komentar