Majalah UNJ |
Miskin--Diam--Lapar
Kami sedih, kami kecewa, kami putus asa... Kami miskin dan kami
lapar... Kami gelisah, takut, dan cemas.. Tak tahu harus berbuat apa. Begitu
takut untuk berbuat apa-apa... Kami menggantung dalam ketergantungan... Selama ini kami
hanya terus-terusan DIAM sambil menyembunyikan rasa lapar yang menjangkit--melilit...
Smakin hari diri sudah makin lemas saja... (Saya khawatir kalau teman-teman
kami yang lain kenapa-napa di kosnya)... Kami hanya ingin diakui! atau minimal
diketahui, Bahwa orang miskin/ orang lapar seperti kami itu Ada! Selain saya
dan teman-teman saya, juga banyak yang merasakan hal yang sama, di pelosok desa
maupun di balik kepadatan kota. Kami tidak mau mencuri, juga tidak mengemis,
Tapi kami hanya minta “hak” kami! Selama ini yang kami tahu hanya mengerjakan “kewajiban”
terus, patuh dan tunduk. IPK harus tinggi (ini bisa dimengerti), tidak boleh nikah
(???), dan tidak boleh DEMO (!!!). Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban, Itulah kebodohan dan ketidakritisan kami
yang terus dipelihara...
Kami di sini, ada untuk dimengerti, bukan untuk dibenci. Selama ini
orang-orang miskin seperti kami selalu dipandang sebelah mata. Memang
terus-terusan sengaja dibikin miskin,
sengaja dibikin lapar tak berkesudahan biar terus membeli produk-produk yang ditawarkan.
Dan orang miskin terdesak/ tak punya pilihan lain. Harga-harga yang dibikin
sudah melambung tinggi, hingga tak terjangkau lagi, hanya bisa digapai oleh
menengah ke atas... Sebagian kami ada yang ‘selamat’, yaitu yang diambil-kerjakan
dan memenuhi kualifikasi ‘pabrik’, sementara kebanyakan kami hidup tak tentu, pontang-panting
mencari, buka-lubang-tutup-lubang, banyak dari kami yang digusur,
disisih-sisihkan... diperlakukan sewenang-wenang, aspirasi tak pernah didengar
karena tidak ada uangnya... dalam diam kami menjerit, rasa hati sudah terampas,
terenggut secara sistemik sampai kedalaman. Tak bisa mengeluh pada siapa, hanya
dipendam sendirian bersama ‘ kelaparan...’, sebab jaman ini orang hidup ‘masing-masing’...
Sistemlah yang benar, sedang kami yang salah. Kami salah dilahirkan di dunia
yang tak punya rasa belas kasihan ini... termasuk akibatnya hari ini, banyak
orang miskin yang ‘minder’ dengan kemiskinannya sendiri, lalu mereka
ngebela-belain memenuhi tuntutan ‘modern’ sehingga mendapat cap orang berpunya
dan demi mendapat pujian dari tetangganya... padahal memenuhi kebutuhan
pokoknya sendiri kesusahan dan mati-matian... kasihan sekali hidup manusia
semuanya, lupa, bagai mimpi...
??????
Entah ini salah siapa; Presidenkah yang akhir-akhir ini lagi
kenceng-kencengnya menggalakkan kebijakan-teknis, sehingga yang esensial,
spiritual ditinggalkan sehingga orang Indonesia terlalu galak pula dalam
bersaing antar-sesamanya. Kementrian Agama kah yang terlalu sibuk memenej
segalanya, struktural birokrasinya, sehingga masalah Beasiswa Bidikmisi UIN ini
bak sebutir debu saja... Rektor UIN yang baru itu kah, sehingga maklum kalau
belum banyak tahu.. Pegawainya kah yang juga sebenarnya sama-sama manusia
seperti kami... mungkin bedanya mereka punya energi yang besar,
soalnya mereka sudah makan banyak... sedangkan kami masih saja lemas,
kering, dan hambar, karena melalui hari-hari yang sulit dan penuh dengan puasa...
yang ada, manusia hanyalah korban sistem, sehingga ketika saya menanyakan
beasiswa, cuma dilempar ke sana-kesini, jawabannya mutar-muter... padahal yang kami butuhkan bukan jawaban kosong, namun terpenuhinya hak kami yaitu UANG Beasiswa
kami yang REAL! turun tepat pada waktunya! dana real!!! Uangnya, nominal di
ATM! Namun tak ada kebijakan yang bijak, karena pada kenyataannya: tetap saja
Beasiswa Bidikmisi UIN Sunan Kalijaga tak jua kunjung turun... namun tetap saja mereka semua adalah manusia yang adalah saudara saya (bagai mengharap
hujan di musim kemarau... ah tapi hujan air saja sudah turun kok... sampai
lunglai badan ini setiap hari ngecek ATM dan pulang dengan kekosongan...
hambar...)
Sejarah Kelaparan
Pada tulisan curhat saya ini, ingin sekali aku mengajakmu ke dalam
dunia refleksiku. Memasuki dunia pribadi saya. Pengalaman pahit getir ini sudah
kami rasakan sejak awal masuk kuliah sampai hari ini saya sudah mau lulus. Dulu
saya dan teman-teman penerima beasiswa Bidikmisi terlambat beberapa Minggu
mengikuti kuliah sebagaimana mahasiswa umumnya. Karena dana bidikmisi yang
dijanjikan kosong lama. Alasannya pergantian kepengurusan dari KEMENDIGBUD ke
KEMENAG. (akibatnya sampai hari ini ‘psikis-pedagogis’ saya rancu dan kacau
balau, sulit memahami cara pikir kuliahan/ disorientasi.) Ada dulu teman
asosiasi kami yang tak lolos uji berkas, ada yang putus asa karena gak ada
kepastian kapan cairnya, lantas pulang dan putus sekolah, ada yang ngamen demi
mencukupi kebutuhan hidupnya di Jogja. Dan banyak yang kerja karena bidikmisi
tak bisa diharapkan. Dulu kami begitu sangat berharap pengalaman pahit getir
ini biar menjadi YANG TERAKHIR, jangan ada yang merasakannya lagi... (Entah
hitung-hitungan dananya saya gak begitu tahu, mana yang jatah mahasiswa, mana
yang masuk kampus, mana yang dikembalikan ke Kemenag karena
bea hidup dan bea pendidikan di UIN masih murah...)
Hari ganti hari, bulan ganti bulan, semester ganti semester... naudzubillah!!! ternyata keterlambatan
beasiswa itu terus berlarut-larut... awalnya telat sebulan, terus semester
berikutnya dua bulan, tiga bulan, empat bulan, dst... (dulu kami sempat
ramai-ramai melonglong-longlong di Conventional Hall karena telat turun, sempat
melobi sana-sini, pernah juga Sholat Dhuha berjamaah di samping jalan raya
Wanitatama. Sungguh miris!) saya juga dicritani kakak-kakak angkatan katanya
dulu awal berdirinya organisasi ASSAFA (kumpulan mahasiswa Bidikmisi)
dilatarbelakangi oleh kelaparan yang kering kerontang pula, haaah....pening... sampai SEMESTER INI. Saya semester 6, sudah
mau skripsi, tak ada perubahan dan semakin parah saja. Teman-teman lapar dan
DIAM, bungkam. Sudah putus asa, sambat pada siapa. Hari ini, Minggu 19 April,
ketika saya menulis, beasiswa belum juga turun. Awal semester 6 yaitu Januari.
Sedangkan Hari ini, sudah 2-3 minggu setelah UTS (ujian “TENGAH” SEMESTER).
Begitulah kemarau panjang yang kami hadapi. Tempo keterlambatan sudah estimasi,
awal Maret sudah ditunggui, awal April bersabar menanti, ... Ada kabar simpang
siur beasiswa baru turun bulan MEI. Januari sampai Mei = 5 bulan...??? WhaatTT???
Semester depannya???
Naudhubillah!!! Bagaimana ini nasib penerima beasiswa Bidikmisi ke
depan-depannya??? Saya sangat kasihan sama calon Maba penerima bidikmisi,
karena rasanya sama seperti korban PHP Beasiswa. karena selanjutnya, mereka
akan mengalami masa paceklik yang sulit per semesternya... Yang benar-benar
kami rasakan, benar-benar masih sulit hidup... proses pembelajaran sulit masuk
dan begitu menguras tenaga, gemetar, keringat dingin... streesss! (bahkan
memasuki dunia ilusi-delusi-dan makin tersisih dari kerumunan) padahal sumber
energinya cuma sedikit, sehingga cepet capek pula. Padahal kebutuhan mahasiswa
tak cuma urusan perut, tapi juga beli buku, garap tugas, kebutuhan alat/
fasilitas kuliah, kesehatan, dana sosial, organisasi dan pergerakan, kegiatan
keluar, mengembangkan sosio-prenuership,.. dan living kos/ tempat tinggal. Kami
menggunakan beasiswa itu dengan penuh kesadaran untuk membangun dan progresivitas
bangsa... atau modal pergerakan sosial. Contoh konkret: menerbitkan buku. Dana
untuk urunan organ, modal bisnis, dll
Harapan Sederhana...
Kalau masih memungkinkan untuk kami bisa usul, sebenarnya usul kami
tidak aneh-aneh, cuma yang formal-instruksional saja. Yaitu (1.) evaluasi
kembali kebijakan terkait beasiswa Bidikmisi terutama kewenangan pihak masing-masing
kampus dalam pengelolaannya. (karena selama ini per kampus beda-beda dan sangat
rawan deposit/ penyalahgunaan) (2.) Beasiswa sudah bisa turun TEPAT Awal
Semester. Artinya, begitu ganti semester, dana beasiswa hendaknya sudah cair
dan bisa dipergunakan oleh mahasiswa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hanya
itu saja harapan kami yang sederhana, yang menurut saya memang sudah seharusnya
begitu. Semoga harapan kami tidak
menjadi utopis saja seperti angin berlalu...
Semoga segera diangkatlah penderitaan yang berlarut-larut ini. Oh
apakah ini kesusahan abadi yang harus ditanggung si miskin sepanjang hayatnya?
Kami jadi agnostis, lemah, lemas, tak berdaya. Harus memaksakan diri menerima,
meski hati terlunta-lunta. Mungkin hanya Alloh yang tahu kapan beasiswa
bidikmisi akan cair, untuk menghibur perut kami yang cengeng dan suka
merengek-rengek. []
Puji, mahasiswa jurusan FA/ Ushuludin, Studi Agama, dan Pemikiran
Islam.
NB: tulisan ini bentuknya curhat kegelisahan jiwa ‘rasa yang
tercekat’, saya sadar-diri pasti koran tak sanggup menampung kegelisahan saya.
Tak bermaksud menjelekkan nama kampus, karena sebenarnya ini masalah bidikmisi se-Indonesia
yang tidak menentu. (dan saya sangat mencintai kampus saya, yang terbaik, yang
saya rasakan.) Dan lebih pada mendukung upaya evaluasi kebijakan bidikmisi ke
depan sehingga tercipta mahasiswa yang progresif membangun bangsa ke depan, dan
peduli pada isu-isu sosial.
# Pengalaman Pahit Bin Getir
Mahasiswa Bidikmisi
# Beasiswa Bidikmisi Telat Cair,
Mahasiswa ini jadi Agnostis.
# Hujan Aja Turun Deras, tapi
Beasiswa Bidikmisi UIN tak kunjung turun
#Ada Orang kok Mengaku Miskin, Apa
Kata Dunia (?)
# Curhatan Mahasiswa Bidikmisi yang
Kelewat Galau
# Mahasiswa Bidikmisi: miskin, DIAM,
dan lapar...
# Beasiswa Bidikmisi Undercover...
0 Komentar