Oleh:
Ahmad Pujianto
Pada suatu waktu
yang biasa, badan ini ada. Terdampar di tepian pantai yang berhias pepasiran
putih menyilau. Sebentar waktu, badan ini digoyahkan oleh deburan ombak. Mataku
perih menatap bayang-bayang keberadaan. Akal budiku biru bersih sepertizenit langit
yang melingkupi cakrawala hingga horison sana.
Aku didatangkan ke daratan hidup ini, berbekal
satu yang kutahu, bahwa aku tidak tahu apa-apa. Entah dari mana asalku, untuk
apakah semua ini, dan mau dibawa ke manakah pada akhirnya...? Aku tak pernah merasa
ditawari, tahu-tahu aku tercipta dengan embel-embel nama: Ahmad Pujianto. Dalam
darahku bermuara ruh kemagelangan, itulah asalku, dan mungkin juga itulah pusaraku
kelak. Kini aku sudah muda, akan tua, dan mati. Seakan identitas tersebut
melekat erat pada seonggok badan ini tak mau pergi.
Dan seonggok badan,
masih terdampar di antara perairan dan daratan. Aku terombang ambing dalam
gelombang hidup yang tak tentu. Kurasakan benar bahwa hidup ini memang absurd.
Segalanya hampa. Pun apa-apa yang ditangkap indra, tidak lain hanyalah
kebohongan semata. Menjadikanku seorang nihilis.
Aku
ingin punya kemampuan terbang, tapi aku tak punya sayap. Aku ingin berjalan di
atas genangan air, tapi tenggelam. Aku ingin mengeluarkan semacam jurus, ah
semakin absurd saja! Dan ketika aku ingin menciptakan sesuatu, hanya bisa dilakukan
di dunia pembayanganku. Bahkan ketika aku mendamba kehidupan yang kekal, tapi nyatanya
kelak akan tua dan mati. Setiap apa-apa yang kujalani sia-sia saja. Hidup ini
buang-buang waktu saja.Dasar aku fana, dari tidak ada, menjadi ada, kembali menjadi
tidak ada...
# # #
Kini aku sudah lelah.
Terdampar dan terkapar di pantai tak bertuan ini. Aku merasa tak sempurna.
Eksistensi dan gerakku benar-benar terbatas. Terbersit angan dalam benakku,aku menyerah
saja pada keadaan. Namun sebelum itu, dalam hidup yang hanya sekali ini,
bolehkah aku sedikit saja lebih tahu tentang seluk-beluk dan rahasia kehidupan.
Aku ingin mengerti sebab-musabab, setidaknya apa tujuan hingga aku ‘ada’.
Sekali lagi, kucoba
memaknai hidup ini. Mencari dan terus mencari, bertanya dalam pikir dan hati.
Pasti ada yang menggerakkan semua ini. Bahkan, harus ada yang memulai! Lantas
siapa yang memulai ‘aku’, sedangkan aku tidak mampu menciptakan diriku sendiri?
Siapa yang menggerakkanku, sehingga aku sampai didamparkan di pantai hidup ini?
Setiap keberadaan pasti terkandung maksud-Nya, yaitu untuk apa setiap sesuatu
itu diciptakan. Lantas pertanyaannya, untuk apa aku dihidupkan? Siapa yang
menghidupkan?
Aduhai Kamulah yang Wujud, tidak terbatas
di tengah-tengah hal yang serba terbatas, Hal yang Paling Sempurna yang
diidam-idamkan para pencari-Mu, sumber dari segala sumber hakikat hidup ini... Sebelumnya kusampaikan terimakasih
yang sedalam-dalamnya, sudah menjadikanku ‘ada’. Sehingga aku bisa merasakan
nikmat hidup, kesulitan, deburan ombak ini, sengatan matahari, dan terutama
kesadaran atas diriku sendiri. Aku dibekali akal, pikir, dan hati sebagai alat
untuk mengerti. Sehingga aku bisa menemukanMu. Terimakasih... karena Kamu ada,
maka kuyakin harapan itu juga selalu ada!
Kucoba untuk bangkit
menyambutMu. Limpahan syukurlah yang menjadi sajak-sajak cintaku, cinta yang tulus
tak perlu balas. Jelas aku didamparkan di pantai ini untuk menginjak daratan. Akupun
mulai mewujudkan imajinasiku menjadi lebih maujud. Sehingga, dari pepasiran
putih yang menyilau itu, aku bisa menciptakan patung burung, hewan-hewan, rumah-rumahan.
Hingga terlintas di pikirku untuk membuat serupaanku, bahkan aku mulai
mengarang-ngarang tentangMu. Sehingga aku tidak lagi kesepian. Tanpa kusadari,
kini aku menjadi begitu sibuk denganMu. Tidak ada yang kupikirkan selain Kamu.
Aku raih Tangan itu, kuajakNya berlari-lari, bercanda, dan tertawa meski yang
terdengar tidak lain hanya suaraku. Akupun mulai mengeksplorasi cintaku dengan
rebahan, atau tengkurap, memeluk, sambil menciumMu hingga keluar cairanku.
Aku sudah sampai.
Kini aku ada dalam ketidakberbatasan, kesempurnaan. Aku sampai di puncak-puncak
ilmu sehingga aku tak perlu lagi belajar, karena: Akulah Hakikat itu! Aku
menjadi hampa... Menjadi semesta alam. Kemudian aku lupa... Hilang... Dan kembali
nihil....
Oh, ombak... datanglah padaku! Pesan apa
yang Dia kirimkan untukku? Sebenarnya, aku tahu dari dulu Dia bersembunyi di
balikmu. Dia tak henti-hentinya menyapa dan menggodaku... Ke sinilah, gerayangi
seluk beluk tubuhku... Aku ingin menyatu denganmu, bahkan aku rela jika harus
hanyut di kedalamanmu...
# # #
“Oh, tidak!!!
Sadar-sadarlah, Puji! Puji... Puji... Kamu masih Puji, kan ?!”
Bah!Ombak itu hampir berhasil
mengelabuhiku. Aku sudah hanyut terbawa arus hingga lepas pantai. Kalau aku
tidak segera bangun dan berenang kembali, mungkin kini aku sudah mati. Berlaku
juga dalam hidupku ini, masalah hidup
adalah jelmaan dari ombak yang selalu menggoda dan mengelabuhiku agar aku lupa
terhadap Dia yang Esensi. Justru seharusnya, ombak hidup yang tak ada hentinya
itu, menjadikanku lebih kuat! Aku menjadi semakin yakin bahwa Dia akan datang!
Dan seperti mendapat
bisikan, aku akan memulai hidup ini dengan lebih segar. Aku memang belum tahu
apa-apa. Tapi, satu hal yang kutahu, bahwa aku akan menjalani hidup ini dengan
sehidup-hidupnya! Menerima dan memanfaat anugrah hidup ini dengan
sebaik-baiknya. Berekspresi dan berkreasi meneladani keindahanNya. Dan bekerja
untuk membangun, mendayagunakan benda sebagaimana tujuannya yang semestinya.
Dengan perasaan syukur dan ikhlas, akan kukerjakan semua itu sehingga Dia
menjadi tambah senang. Akupun dalam perasaan senang tak terhingga. Aduhai, Cinta...!
Dan akhirnya, akan segera kudirikan
menara-menara di sepanjang pantai ini. Untuk melihat-lihat, mencaridan
menemukan Dia, Sang Pengirim Ombak. Akan kurindukan ketika Dia menjemputku
dengan kapalNya yang megah, tak
terkira tinggi dan besarnya. Untuk mengajakku bersamaNya dalam kehidupan yang
kekal. Maka saat itulah, permainan ini berakhir...
(Pantai
Kukup, 25 Desember 2013)
0 Komentar