Membayangkan Negara Idaman nya Plato

Ahmad Pujianto
Filsafat Agama, UIN Sunan Kalijaga

Plato, selain dikenal sebagai seorang filosof, dia juga merupakan sastrawan yang ulung. Terbukti dalam banyak buah karyanya rata-rata berbentuk narasi yang penuh dengan dialog-dialog dan puisi. Di mana umumnya Sokrates dijadikan tokoh sentral sebagai simbol dari kebijaksanaan, dihadapkan dengan orang sophis maupun orang umum.1 Ajarannya sangat terkenal, seperti teori alam idea, konsep negara Republik, jiwa yang tripartit, maupun ajaran etikanya. Bahkan teori tentang idea menjadi dasar bagi metafisika, epistemologi, fisika, psikologi, etik, politik, dan estetika.2 Pantaslah kalau filosof Whitehead mengakui bahwa sejarah filsafat Barat sampai sekarang hanyalah catatan kaki dari ajaran Plato.3 Dalam tulisan saya kali ini, secara khusus akan membahas Negara Idaman/ Ideal/ Utopis yang menjadi gagasan Plato. Untuk digunakan pada diskusi beberapa anak UIN Sunan Kalijaga yang sangat antusias dalam menggali hikmah lewat sejarah filsafat.
Konsep negara yang diidam-idamkan Plato tersebut tertuang dalam bukunya Politeia (Republik), yang mulai ditulisnya semenjak masa mudanya saat Sokrates masih hidup dan menjadi proyeknya yang utama.4 Plato membukanya dengan mempertanyakan apa itu “keadilan”, yaitu dalam Republik, buku pertama. Yang kemudian Republik diselesaikan hingga buku II – X pada masa dewasanya.
Agar pembahasan ini tidak lari dari konteks sosial historis pada waktu itu, saya mencoba mengungkap beberapa faktor yang melatarbelakangi Plato menulis Republik dan menggagas perlunya negara yang dipimpin filsuf-raja.

Biografi Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 S.M dan meninggal di sana tahun 347 S.M. Ia berasal dari keluarga aristrokrat turun temurun. Ayahnya, Ariston, adalah keturunan raja terakhir Athena. Ibunya, Pericitione, keturunan Solon, aristokrat reformis yang menulis undang-undang Athena.5 Sejak kecil, memang Plato sudah bercita-cita ingin menjadi seorang negarawan. Bisa jadi dia merasa berhak dan pantas menjadi negarawan.

Situasi politik yang terjadi
Malang nasib Plato dikarenakan keadaan tidak mendukung kelancaran profesi yang diidam-idamkannya karena pada waktu itu, keadaan politik Athena sedang kacau balau. Banyak terjadi intrik di dalam pemerintahan, korupsi yang menggerogoti sistem demokrasi, hingga terjadinya perang saudara di Athena antar aristrokrat yang ada. Pemegang kekuasaan menjadi berubah-ubah dari aristokrasi, oligarkhi, dan demokrasi. Bahkan faktor eksternal yaitu serangan dari Sparta yang menghasilkan kekalahan bagi Athena. Sehingga Athena dikuasai pihak asing. Hal tersebut pasti mengganggu psikologi Plato. Apakah kekacauan itu yang disebut “keadilan”?

Kesedihan mendalam atas hukuman mati bagi Sokrates
Banyak tuduhan miring terhadap Socrates yang dilontarkan kaum sophis. Dia dituduh berdosa karena berbicara melawan Tuhan, dan merusak pikiran kaum muda Athena. Sehingga berdasar hasil voting, dia harus minum racun hemlock. Dalam tulisan Plato, Apologis, banyak diuraikan detail argumentasi yang disampaikan Sokrates saat di pengadilan, tentu saja seingat Plato. Dia tak habis pikir, orang sebaik Sokrates bisa terkena sangsi hukuman mati, padahal jelas-jelas dia tak bersalah. Dia banyak-banyak mencari di manakah “keadilan” yang hakiki itu berada? Sedangkan demokrasi Athena menurutnya sudah sakit, rusak, dipenuhi kedzaliman, dan disetir oleh orang tak bermoral.
 Mula-mula Plato mulai berpikir mencari solusinya, yaitu dengan alternatif mengganti undang-undang yang ada. Tapi apa cukup dengan itu? Padahal krisis moral di Athena sudah sedemikian parahnya. Akhirnya dia beranggapan bahwa negara harus dirombak. Konsep keadilan hanya bisa dicari di alam idea. Dan negara akan adil jika dipimpin oleh orang yang bijaksana, yaitu filosof. Atau raja yang memimpin harus belajar filsafat terlebih dahulu. Dalam analogi cerita gua yang sangat terkenal itu, raja di situ yaitu dia yang sudah keluar dari goa keterkungkungannya kemudian mendapati sinar matahari sebagai simbol pencerahan di tengah krisis multidemensi yang gelap gulita pada waktu itu.
 Sesuai dengan gagasan awal Plato bahwa negara yang ideal harus berdasarkan keadilan. Tapi apa keadilan itu? Seorang Sophis, Thrasymachus mengatakan keadilan itu untuk melindungi yang kuat. Namun disanggah oleh Plato, bahwa yang kuat sebenarnya adalah orang yang baik. Menurut Plato, keadilan adalah hubungan antar orang-orang yang bergantung kepada suatu organisasi sosial.6 Keadilan itu sifatnya proporsional. Golongan pemimpin layak mendapat kekuasaan karena mereka bijaksana, kecuali ada yang lebih bijaksana lagi. Negara harus diselenggarakan dengan cara tradisional guna merealisasikan cita-cita etis seluruhnya. Dapat dikatakan, kepentingan negara lebih dominan daripada perseorangan. Dengan begitu, demi tercapai tujuan tersebut masing-masing kelas melaksanakan tugasnya tanpa campur tangan kelompok lain.7
 Adapun kelas yang dimaksud yaitu kelas penguasa, kelas militer, dan kelas sosial. Masing-masing mengemban tugas yang berbeda. Golongan pemimpin yaitu para filosof-raja: filosof yang diangkat menjadi raja, atau raja yang belajar mendalami filsafat. Mereka adalah orang-orang yang terdidik dan ahli di bidangnya. Mereka bertugas dalam urusan politik kenegaraan, membuat undang-undang, hingga melakukan pengawasan terhadapnya. Bagi mereka, tiada hari tanpa belajar. Mereka harus selalu dan selalu memperdalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebaikan guna mencapai kebijaksanaan.
 Kelas militer, yaitu membantu penlaksanaan dan penjagaan urusan negara. Siap sedia jika ada ancaman musuh. Hidupnya penuh pengabdian pada negara. Sehingga kepentingan individual diabaikan: mereka hidup bersama, tinggal di asrama, hak milik bersama, bahkan istri sebagai alat pemuas nafsu dipakai bersama. Di dalam kelas militer terjadi sistem perbaikan keturunan sehingga didapatkan anak yang tangguh, kekar, kuat, untuk dipelihara oleh negara. Sehingga si anak tak pernah tahu ibu-bapaknya. Semua perempuan militer adalah ibunya, setiap lelaki militer adalah bapaknya. Semuanya bersaudara.
 Kelas sosial atau rakyat jelata ialah mereka para petani, saudagar, pekerja, tukang, kuli. Tugas mereka mencukup seluruh kebutuhan dari semua kelas yang ada. Mereka dilarang dalam urusan politik kenegaraan. Namun dibebaskan dalam urusan hak milik, boleh berrumah tangga sendiri, bebas berkreasi dan menentukan nasibnya sendiri.
Kelebihan dari konsep negara Republik yang diidam-idamkan Plato yaitu sistem ini sangat memperhatikan persoalan pendidikan, karena itu berkaitan erat dengan kebaikan warga negara. Dengan bahasa cerita gua, pendidikan akan mengantarkan warga keluar dari keterkungkungan budi dan pengetahuan, sehingga bisa mendapatkan pencerahan berupa kebaikan budi. Menurut Plato, pendidikan anak dimulai dari usia 10 tahun dengan dasar gimnastik (lebih luas daripada atletis) dan musik (setara dengan pengertian seni). Gimnastik menyehatkan badan dan pikiran. Sehingga pendidikan diharapkan menghasilkan insan pemberani. Musik sebagai wahana olah jiwa menjadi lebih halus dan harmoni. Kemudian diajari baca-tulis-berhitung seperlunya.
Umur 14 sampai 16 diajari musik, puisi, dan mengarang sajak yang mendukung perkembangan kejiwaan. Sementara yang melemahkan, atau menimbulkan dampak buruk, merusak moral, harus ditekan habis. Umur 16 sampai 18 diajari matematika sehingga tersusun kerangka berpikirnya. Juga diajarkan dasar-dasar agama, moral, sopan santun, keTuhanan. Sehingga sebuah bangsa bisa menjadi bangsa yang kuat. Bangsa yang tertuju kepada Yang Baik, Yang Indah. Kemudian, umur 18 sampai 20 tahun setiap pemuda dibekali latihan militer. Pada umur 20 tahun itulah terjadi seleksi kelas, sehingga mereka bisa ditempatkan di kelas penguasa, militer, atau sosial sesuai kemampuan mereka. 8
Sedangkan, kekurangan dari konsep negara idaman Plato yaitu adanya kebohongan besar yang sengaja dilakukan guna tercapainya tujuan. Keyakinan atas dogma bahwa Tuhan menciptakan tiga jenis manusia, yang terbaik terbuat dari emas (penguasa), yang di bawahnya dari perak (militer), dan yang kebaikan dari kuningan dan besi (sosial/ rakyat jelata). Juga adanya sensor terhadap informasi, terhadap seni yang meresahkan dan mengganggu stabilitas nasional. Kebohongan yang dimuliakan selain itu yaitu sistem perbaikan keturunan, secara kasar dilakukan secara undian, padahal sebenarnya memang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan, ketika lahir anak yang cacat, maka negara akan membuangnya ke tempat rahasia. Karena anak tersebut tak sesuai dengan cetakan di alam idea sana.9
Jika dilihat struktur kelas yang ada, negara memang melegal-formalkan adanya kelas-kelas yang bertingkat dan berbeda. Sehingga tampak kapitalistik, ketika rakyat jelata dilarang mengurus politik kenegaraan. Namun jika dilihat di internal masing-masing kelas, terjadi persama-rataan antar warga (sosialisme) sehingga ada kebersamaan dan rasa persatuan di dalam kelas tersebut. Namun, terlepas dari kapitalisme-sosialisme, sebenarnya Plato mengidam-idamkan negara yang mapan, yang terpusat agar negara terselenggara dengan baik dan keadilan bisa ditegakkan.
Itulah yang bisa kita bayangkan atas konsep negara Idaman-nya Plato. Dari uraian di atas, saya sendiri muncul banyak pertanyaan, bisa jadi konsep tersebut berangkat dari subjektivitas Plato. Saya yang belajar filsafat jelas merasa diangkat kehormatannya dengan adanya konsep filsuf-raja, tapi saya juga harus mencurigainya. Apakah karena Plato seorang filosof, jadi dia mengharuskan penguasa itu dari kalangan filosof? Bagaimana jika Plato pada waktu itu seorang militer, seorang rakyat biasa? Lantas, apakah sama dan apakah mau orang-orang satu negara diajak menerapkan idea-nya Plato? Bagaimana jika kita hendak menerapkan demokrasi yang mengarah kebaikan saja? Bagaimana penerapannya jika lepas dari realitas yang tengah berlangsung? Apakah untuk dipraktekkan, atau selamanya untuk dibayangkan, diidam-idamkan...?

        Referensi:


1 T.Z. Levine, Plato: Kebaikan adalah Pengetahuan, hal 24
2 Moh Matta, Alam Pikiran Yunani, hal. 94
3 T.Z. Lavine, hal 2
4 Moh Hatta, hal 94
5 T.Z. Lavine, hal. 7
6 Moh. Hatta, 110
7 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, hal 153-155
8 Moh Hatta, hal 112-114
9 Bertrand Russel, hal 152

Posting Komentar

0 Komentar