Antonio Gramsci, dari HEGEMONI hingga REVOLUSI INTELEKTUAL masyarakat



Gagasan tentang masyarakat tanpa kelas, semakin ke sini, semakin ditunggu. Tapi nyatanya tak datang-datang juga! Yang ada justru keadaan makin memburuk. Ide-ide marxisme dirasa terlalu utopis dan terkesan memandang remeh segala sesuatu, termasuk yang berada di dunia material sendiri. Gagasannya begitu tertata rapi dan bisa dikatakan: mapan. Sehingga, justru jangan-jangan, kemapanan itulah yang selama ini menjauhkan kita dari realitas sebenarnya. Maka jadilah Karl Marx dan pengikut-pengikutnya yang ortodoks tidak kritis lagi. Tidak mengkaji sampai akar persoalan dan juga akar rumput sosial masyarakat. Melainkan ideologi marxisme tatarannya hanya sebatas pandangan dunia secara ekonomis saja. Juga dikatakan oleh Croce, mereka itu hanya sekedar mengkaji sejarah saja, tak menimbulkan perubahan apa-apa yang berarti.
.   .   .   .   .   .

Maka muncullah Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia yang cerdas, kritis, dan begitu gigih baik dalam sejarah intelektual maupun pergerakannya. Ia seorang filsuf Marxis, atau lebih spesifik lagi, teori politik dari Italia. Ia pelanjut, penafsir ulang, sekaligus penentang Marxisme yang ortodoks. (Simon, 2013)
Meskipun kesehatannya tak pernah baik dan kuat (karena ia sakit bungkuk), namun kegigihannya dalam berjaung, menulis, dan pergerakan tak pernah padam. Bahkan ketika fisiknya dipenjara selama satu dekade Mussolini di Italia, dia tetap menulis. Bahkan ketika neuron syarafnya sakit dan melemah, dia tetap menulis. Tulisannya baik berupa refleksi filosofis, catatan-catatan hidup, hingga pandangan politiknya itu kemudian tertuang dalam karya magnum opusnya, Prison Notebooks, catatan-catatan dari penjara. (Repert, hal. 236)
Ia dipenjara selama enam tahun yaitu dari tahun 1929 sampai dengan ajalnya. Meninggal dalam usia yang masih muda yaitu 46 tahun. Selama hidupnya ia dikenal sebagai aktivis politik revolusioner yang paling ditakuti. Ia juga merupakan pendiri dan salah satu pemimpin Partai Komunis Italia. Ia termasuk anggota Parlemen Italia dan anggota Komunis Internasional.

Pembacaan atas Hegemoni
Kemungkinan besar, berdasarkan riwayat masa kecilnya, nasib hidup keluarga Gramsci memang tak beruntung dan banyak memprihatinkan. Ayahnya di PHK dari kantor tempatnya bekerja karena dianggap suka nyleneh/ menyimpang dari kebiasaan pekerja. Setahun kemudian, ayahnya didakwa korupsi, padahal kasus sebenarnya yaitu karena dia melawan parpol yang menghegemoni pada waktu itu. Ayahnya dipenjara selamaenam tahun, dan kemudian hidup di bawah garis kemiskinan. Sehingga, Gramsci sejak kecil banyak mendapatkan pengalaman pahit.
Hingga, Gramsci muda berhasil mendapatkan beasiswa miskin untuk kuliah di Universitas Turin. Di universitas itulah yang membentuk pemikirannya. Ia banyak mengkaji pemikiran tokoh seperti Mondolfo, sehingga kelak ia lebih suka menyebut filsafat marxisme dengan sebutan ‘filsafat praksis’. Ia juga pengagum berat Benedetto Croce yang mantan-marxisme. Croce begitu banyak mempengaruhi pemikiran Gramsci. Namun Gramsci juga mempunyai kesimpulan tersendiri bahwa kajian maupun gerakan marxisme tak boleh berhenti. Gramsci merupakan orang depan mengkritik marxisme ortodoks.
Di Turin sendiri, Gramsci menyebutnya -Petrogad Italia. Ini dikarenakan banyak rumah industri yang maju. Turin terkenal dengan ekspornya seperti kapas, wol, besi, baja, hingga senjata perang dan pesawat terbang. Sehingga di daerah tersebut banyak buruh yang diperkerjakan. Serikat buruhpun juga gigih dan siap untuk berjuang dan mengadakan aksi.
Perjuangan pertama Gramsci ketika bersama-sama para proletar aksi sampai akhir, atau sekitar 75 hari. Tujuannya untuk demo anti peperangan. Dan juga para buruh pernah mogok besar-besaran suatu kali pada Juni 1914 dan mendemo fasisme Mussolini.Pada 1923, Gramsci bahkan menjadi motor gerakan menentang dan membelot pemerintahan. Sehingga dalam bahasanya Gramsci dianggap ‘subversif’, yaitu mereka yang mendapatkan stigma/ penilaian yang negatif, daripada positif dari asumsi general sehingga dirasakan bersifat semi-foedal. (1987: 382)
Latar belakang kehidupannya itulah yang memicu daya kekritisannya dalam membaca  weltanscauuung dan mengembangkan pemikiran marxisme. Terlebih lagi, ia hidup di negara Italia yang fasis. Ia merupakan anggota parlemen oposisi yang terdholimi dan dipenjarakan karena bersebrangan pandangan politik. Ketidakadilan itu mendorong Gramsci untuk berpikir ulang bahwa masalah yang hadir tidak sesederhana yang dikira/ menurut teori marxisme sebelumnya. Tapi ini begitu rumit dan kompleks, serta seperti sersan mendadak yang membahayakan. Sehingga penting melakukan pembacaan terhadap ‘kekuasaan’ yang seperti tangan tak terlihat itu.
Gramsci mendapati bahwa bukan hanya basis ekonomi saja yang mempengaruhi daya, kemauan, dan kemampuan politik. Namun nyata-nyata ini memang ada yang mengendalikan/ mengontrolnya. Ada kekuatan yang mengarahkan dan mempengaruhi, namun kekuatan itu bersembunyi agar tak dicurigai dan tak terganggu keberadaannya. Itulah yang kemudian oleh Gramsci disebut ‘hegemoni’.
Dengan teori hegemoni ini, ia ingin melihat relasi yang terjadi antara negara dengan masyarakat sipil, kejadian apa saja yang tengah berlangsung di sana. Gramsci sendiri mengkategorikan fasisme/ ‘caesarisme’ sebagai bagian dari revolusi pasif. Hal ini dikarenakan hegomoni pemerintahan fasis terhadap rakyat begitu kentara, sehingga revolusi yang terjadi begitu mudah, bahkan bisa dikatakan ‘otomatis’. Meski begitu, selalu ada pihak yang menjadi proposisi (pendukung), dan juga ada yang menjadi oposisi (penentang). Nah, di sinilah menariknya pemikiran Gramsci.
Gramsci menerima perbedaan pandangan itu dan mengadopsinya sebagai bentuk diskursus yang dinamis dan pencerdasan bagi masyarakat. Ia menyebut pro-konta ini sebagai ‘perang posisi’. Perang posisi memang sudah selayaknya ada tak bisa dinafikkan. Dalam perpolitikan, akan terjadi serangan berlarut-larut secara masif sebagai suatu timbal balik yang serius melawan musuhnya (Gramsci, hal. 333).Contoh dari Gramsci yaitu seperti konflik abadi antara gereja dan negara. Gereja di sini diambil dari perwakilan masyarakat sipil. Dan negara sebagai perwakilan para pengusaha kapital yang menggalakkan pembangunan. Meski begitu, yang terjadi bermacam-macam. Mulai banyak kepentingan tersendiri di dalam gereja. Sehingga gereja menghamba pada negara dan tak lagi membela rakyat lemah. Juga antara kapitalis satu dengan yang lain pasti sering terjadi persaingan bisnis. Di lain hal, ada masyarakat politik yang selalu berusaha memobilisasi kepentingan maupun gagasannya dalam tingkatan tertentu. Atau, selama ini yang terjadi, gereja selalu berusaha mempertahankan hegemoninya yang monopolistik terhadap masyarakat dengan berbagai dalil keagamaannya.
Bahkan Gramsci melakukan pembacaan lebih mendalam lagi dari relasi di akar rumput yang terjadi, bahkan di tingkatan internasional. Boleh jadi ada yang sengaja menciptakan pro-kontra itu untuk mengalihkan dari isu sebenarnya. Atau, kemudian pihak yang bersebrangan melakukan banyak lobi politik pada kekuatan lain yang lebih besar lagi sehingga pertentangan politik semakin kompleks dan beragam. Atau, mungkin juga yang mengendalikan itu berada di luar negeri, sehingga tak tersangkut kasus yang terjadi, tetapi ada dan eksis-mengendalikan. Relasi yang muncul bukanlah sebatas nasional, tapi internasional (melampaui nasional) sehingga menghegemoni secara besar-besaran. Kita ambil contoh misalkan kalau di Indonesia, yaitu pembuatan kebijakannya banyak mendapatkan pengaruh dari IMF dan blok sekutu.
Sangat mengejutkan ketika tanpa disadari, para politikus yang sering terlihat dan fenomenal itu ternyata mereka hanya boneka dan anak buah dari sang hegemoni yang bersembunyi. Ia yang menghegemoni pastilah memiliki kecakapan dalam menyusun strategi dan taktik baik itu di bidang politik maupun militer. 

Gagasan Baru Politik Gramsci
Dalam hal ini, Gramsci lahir untuk melawan paham marxisme yang ortodoks. Karena yang mapan itu memang sudah seharusnya digulirkan. Maka ia menjadi pelanjut, pengkritik, juga pengembang kajian marxisme. Sehingga paham marxisme tidak mandek, tidak menemui ajalnya, dan bisa dikembangkan terus menerus untuk mencapai tujuan. Demi keberhasilan itulah marxisme harus dirombak dari kemapanan dan kebermudahannya. Gramsci sendiri lebih memilih menyebut filsafat marxisme sebagai ‘filsafat praksis’. Ini bisa karena dipengaruhi oleh Mondolfo, hasil dari kritik Croce yang ia kagumi itu, juga untuk mengatasi sensor politik pada waktu itu sehingga tulisannya tidak dibredel dan tetap bisa tersebar di masyarakat. Atau juga memang pandangannya bahwa, filsafat sudah seharusnya praksis!
Kalau marxisme klasik memandang dunia lebih berpatokan pada basis struktur ekonomi sebagai kebutuhan mendasar, namun Gramsci mengambil perspektifnya dari sisi politik sebagai kebutuhan di masa sekarang ini. Berpolitik sangatlah penting agar kita cerdas, agar tak dibodohi dan tak ditindas. Pendidikan politik patut digalakkan sehingga terbentuk peradaban baru yang lebih bermartabat untuk memikirkan mau di bawa ke mana kelangsungan hidup suatu bangsa itu. (1987: 346)
Hingga, dipengaruhi oleh Machievielli yang menggagas politik bermoral, Gramsci sendiri mengharapkan lahirnya negara yang etis, negara yang berbudaya, yakni setiap negara adalah etis sepanjang salah satu fungsinya yaitu mengangkat populasi mayoritas rakyat pada level budaya dan moral yang khusus. Kekuatan yang ada dikerjakan secara produktif bagi pembangunan. Pendidikan bersifat positif, bukan negatif apalagi represif. (1987: 361)
Gramsci mengkritik marxisme ortodoks tidak secara abstrak, tapi menyusun ide-idenya itu secara radikal perspektif historis implisit maupun eksplisit untuk mewujudkan revolusi baru intelektual. Ia menolak kerumitan dalam filsafat, juga eklusifitas darinya. Filsafat baginya adalah aktivitas intelektual spesifik dari seorang spesifik atau filsuf yang sistematis dan profesional. (1987: 455). Filsuf di sini boleh dan hak bagi siapa saja yang berfilsafat. Semua orang umum adalah filsuf sejauh mereka berhubungan erat dengan aktivitas praksis manusia dalam mengkonsep dunia. (1987: 483). Dengan filsafat, kita bisa berbicara tentang kemajuan dan kemandirian, tentang demokrasi, hingga mempertanyakan sisi kemanusiaan kita sendiri. Yang kemudian akan mengkatarsis ke dalam diri untuk mewujudkan suatu tindakan.
Kritik Gramsci terhadap filsafat marxisme yaitu dia mempertanyakan otentisitas  dari buah pikir marxisme itu sendiri. Karena filsafat marxisme masih banyak terhegemoni oleh pemikiran lama seperti Kantianisme, dan Hegelian yang abstrak itu. Sehingga selama ini marxisme masih banyak bertitik tolak pada masa silam. Dan lebih melihat masa silam dari pada masa depan yang akan dihadapi. Sehingga, ketika memandang ke depan, terasa begitu mustahil adanya masyarakat tanpa kelas itu, karena pada dasarnya manusia itu berbeda-beda. Namun, menurut Gramsci, kebersamaan dan kekeluargaan, rasa memiliki satu sama lain itu tetap bisa diwujudkan dalam suatu tatanan masyarakat yang sosial-demokratis, termasuk konsep negara.
Persamaan yang muncul terjadi dalam beraneka perbedaan yang diakui dan dihargai sebagai upaya untuk membentuk pengertian yang dinamis di masyarakat. Itulah yang bisa diharapkan  ketika kita berpatokan pada realitas, bukan pemikiran yang utopis.
Selain itu, yang menjadi permasalahan pada waktu itu adalah konsep diktator proletar, bahwa ada yang berperan untuk memobilisasi dan mengawal jalannya negara sebelum pemerintahan baru dihasilkan. Ini juga bagian dari utopisme dan kurang kritisnya marxisme. Pada waktu itu, Gramsci hidup di masa fasis dengan pemimpinnya Mussolini yang diktator. Dia merasakan sendiri ketertindasan dan perampasan haknya sebagai individu yang merdeka. Sedangkan, konsep diktator proletar itu sangatlah teknis, tanpa melihat sisi manusiawi dan segala kemungkinan yang terjadi. Oleh karena itulah Gramsci lebih memberatkan pada realitas perang posisi sebagai bentuk pencerdasan dan upaya menajamkan kekritisan masyarakat. Dan bukan mendampa negara komunis mutlak, tapi negara sosial demokratis.
Kajian filsafat marxisme haruslah modern. Itu tidak melulu memandang teori belakang/ lama. Namun juga harus menemukan metode baru untuk mewujudkan gagasan marxisme tersebut. Dan pentingnya memandang ke depan untuk melancarkan strategi yang diusung (Gramsci, hal. 546).Di sini Gramsci juga kurang mementingkan tema/persoalan kepentingan dasar manusia. Karena di zaman modern ini, kita memasuki kemanusiaan baru yang lebih bermartabat. Sehingga dia lebih menekankan pentingnya pendidikan politik yang etis dan mencerdaskan, dan upaya transfer pengetahuan bagi seluruh rakyat sesuai prinsip egalit-kosmopolitan. 

Revolusi Intelektual Masyarakat
Bagi Gramsci, percuma jika para pejuang revolusi itu menikmati kemerdekaannya sendiri. Pintar, pintar sendiri. Jaya, jaya sendiri. Maka dari itu, harusnya capaian perjuangan itu dirasakan oleh bangsa keseluruhan. Sehingga penting sekali pencerdasan intelektual bagi seluruh masyarakat.
Pendidikan adalah hak semua orang. Belajar sepanjang masa, tidak anak-anak, muda, atau tua, semuanya harus belajar. Bahwa setiap orang itu punya daya intelektual yang sama, sehingga harus terus-menerus dilatih. Agar tak mudah dibodohi orang dan ditindas.
Sehingga dari proses pembelajaran itulah dihasilkan kaum intelektual yang tangguh. Kaum intelektual di sini bukanlah mereka akademisi yang eklusif, juga bukan mereka yang teraleniasi dari lingkungan sosialnya sendiri. Tetapi mereka yang membersamai. Gramsci sendiri membagi kaum intelektual menjadi dua, kaum intelektual profesional ‘tradisional’ dan kaum intelektual ‘organik’. Yang tradisional yaitu mereka yang mandeg, sedangkan yang organik yaitu mereka yang hidup bersama masyarakat, terus membangun, dan berinovasi.8
Pada akhirnya, Gramsci bahkan mengatakan bahwa setiap orang adalah filsuf. Dan sangat berhak menjadi filsuf. Hal ini menandakan ia begitu egaliter dan demokratis terhadap segala usaha intelektual manusia. Sehingga kelak, diskursur kemanusiaan akan terus jalan. Manusia akan berjuang dan memperjuangkan demi kelangsungan hidupnya. Mengejar apa yang menjadi inginnya. Pergulatan intelektual akan terus aktif, bertemu dengan gagasan-gagasan lain, sehingga semakin menyempurna. Ingat kembali bahwa kaum intelektual tidaklah harus kaum akademis, bangsawan, ilmuwan, teoretikus, filsuf, dll karena di sini yang berlaku: siapa saja, boleh menjadi apa saja.
Namun, yang dirasakan Gramsci yaitu selama ini sistem pendidikan formal/ sekolah itu hanya sekedar instruksioner, sekedar formalitas belaka. Bukan pembelajaran dan belum mampu membangunkan kesadaran kritis para pelajar. Hendaknya proses pembelajaran itu tidak kaku dan mampu membangun gereget pelajar sehingga slalu antusias dalam mencerap pengetahuan. Ilmu yang dikuasai tak hanya sekedar teoritis, tapi juga mumpuni wilayah teknis karena benar-benar akan terjun dalam kancah kemasyarakatan (Gramsci, hal. 39). Harapannya kelak akan dihasilkan kaum intelektual yang bukan sekedar terbentuk, tapi juga mampu membentuk dirinya sendiri secara bebas. Maka lahirlah intelektual organik yang transformis menggandeng kehidupan bangsa dan dirinya sendiri menuju persatuan masyarakat yang dinamis-transformatif untuk kemajuan bersama. Masyarakat bersama-sama menentukan takdirnya sendiri. (Gramsci, hal. 294)

Daftar Pustaka:
·         Blackburn, Simon. 2013. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Gramsci, Antonio. 1987. Prison Notebook, terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Russel, Bertrand. 2013. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·          Edkins, Jenny, dkk. 2013. Antonio Gramsci dalam Teori-teori Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





Penulis:
Ahmad Pujianto
12510079
Filsafat Agama/ UIN Sunan Kalijaga

Posting Komentar

0 Komentar