Korban wacana "integrasi-interkoneksi" UIN

Pengalaman Kuliah di Filsafat dan Biologi
(Sebuah tulisan lama yg bersemi kembali)

Kalau disuruh memilih antara filsafat dan biologi, saya tidak akan memilih keduanya. Jelas, karena itu pilihan yang sempit sekali. Keduanya tidak cukup memenuhi dan menjawab setiap kegelisahanku. Karena ada ilmu lain di luar itu seperti agama, sains yang lebih luas, seni-budaya, bahasa. Dan kalau masih saja disuruh memilih dengan memasukkan pilihan tambahan di atas tadi (agama, sains universalistik, seni-budaya, bahasa), saya masih tidak mau memilih. Karena itu masih parsial dan terkotak-kotakkan. Dan kompleks sekali pastinya, pusing pasti aku membagi diri. (Kalau lupa memang aku suka pusing sich. Harus banyak-banyak diingatkan ea...)

Simpel aja sih sebenarnya hidupku di dunia ini, saya hanya belajar menuntut "ilmu Alloh" saja, satu itu saja. Yang kalau masih ditanya lagi milih "ilmu" atau milih "Alloh"? Wkwk... itu pertanyaannya yang salah. Karena antara ilmu dan Alloh ya berbanding lurus... menuntut ilmu menuju Alloh... Alloh sebagai kota/ sumber ilmu... Alloh yang bersifat Maha Berilmu... kalau sekiranya ilmu bertolak belakang, maka mari kita mengoreksi diri. Pasti ada yang salah dengan ilmu kita... Menuju Alloh harus pakai ilmu kalau ndak bisa salah jalannya... gitu aja kok nanya. :-)

Tapi kebanyakan/ yang aku rasakan, ketinggian ilmu juga menjadi ujian sih... apalagi kalau kita benar-benar mendalami ilmu positivistik/ sains berasa dijauhkan! Saat itulah akal yang terbatas menyuruh memilih ilmu dan meninggalkanNya... padahal secara metafisik, akal tahu sebenarnya kerangka jalan-jalan menujuNya, tapi akal juga suka nakal sih. Hm, dikiranya ilmuwan yang sudah tinggi sekali ilmunya itu tidak diuji? Tidak digoda setan gitu? Ini yang sering kita lupa: smakin tinggi ilmu justru semakin berat godanya. Semakin dibuka gerbangnya untuk mendekat pada Sang Maha Cinta, cie cieee...

Oh iya maaf ya bagi yang belum tahu... kemarin saya sempat bercanda sempat kuliah dua. Saya menganut dualisme KTM. Andaikan aku tahu bagaimana membelah raga menjadi dua pasti akan lebih mudah... Kalau filsafat ya belajar hakikat kehidupan... biologi sendiri ilmu tentang makhluk hidup atau materi kehidupan... lho, dua-duanya klop khan? Sederhana saja saya memandang secara definisi bahasa. Kalau filsafat kan masih ngabstrak kan ya, iya gak sih? Nah kalau sains berusaha mengkonkretkannya... Begitu juga dengan agama, kalau toh agama itu emang benar, buktikan dong jangan cuma mencocok-cocokan temuan sains barat dengan ayat-ayat yang ada. Kalau islam mau maju, sains islam harus rerenaisains! itulah optimis saya. Sehingga saya juga harusnya ndak cuma omong ndakik-ndakik tapi juga kerja besar karena rakyat butuh makan...

Ini cerita aja ya, saya dulu juga pernah memikirkan sosiobiology di mana analisis biology kan harusnya juga memperhitungkan faktor sosial dan kemanusiaan, psikologi mungkin. Selain itu yang masih kering terutama di Indonesia yaitu sains kemasyarakatan. Di mana sains harusnya menyatu dan dipakai oleh masyarakat seluruh lapisan. Namun yang ada sains masih teoritis banget u know? Sains  masih jadi ilmu yang lux yang asing di masyakat. Sehingga percuma dong kita belajar sains?!

Secara kan di UIN menganut paradigma "integrasi-interkoneksi" di mana kebenaran dipandang dari berbagai disiplin ilmu yang ada njuk dikomunikasikan njuk disatukan... Nampaknya istimewa sekali gagasan pak Amin Abdulloh ini... apalagi UIN punya fakultas terbaru yaitu saintek yang intinya pengen memajukan sains islam, siapa yang ndak kepencut? Maka saya datanglah berbondong-bondong menyambut seruan.

Benar-benar saya rasionalkisasikan agama di sana supaya islam lebih cerdas dikit gitu, nggak mandeg. Kalau sudah ada tauhid sosial, nah saya ajukan tauhid sains! Pada kalkulus saya belum selesai pada angka 0 dan 1. Integralisasi paradigma berpikir gimana ya? Agar bisa menjangkau. Saya mengkritik diagram Cartesius kenapa cuma ada dua sampai tiga dimensi saja? Di mana yang empat, yang lima, dst? Penciptanya yaitu Descartes bisakah mencapai kepastian titik dengan teorema ini mengingat sekarang era mekanika kuantum? Pelajaran fisika, saya tanya tentang gejala jiwa, tentang perpindahan ataukah kekekalan semesta, tak terlewatkan juga persoalan reinkarnasi. Menganalogikan dunia akherat dengan tidur dan jaga. Banyak juga sih ukuran-ukuran yang sudah kita percaya tapi relatif, contoh berat hanya berlaku di bumi tidak di bulan. Paradigma geocentris yang menipu, dll... Apalagi ya, tentang kimia saya kaitkan dengan Cinta... asik tuh jika cinta dibahas diakademik secara lebih ilmiah! Di biologi saya kritik habis-habisan ciri-ciri makluk hidup yang 9 yang saklek dan matrealistik beud! Saya tolak makan dengan pendekatan tasawuf, dlsb..

Haha... capek nggak sih Puji? Apa kamu sombong atau merasa pinter sendiri gitu? Kadang sih tapi lebih saya merasa gila sendiri hihiii... Sepi... Bereksplorasi di tengah-tengah teman yang unyu-unyu yang saya cintai. Saya merasa bersalah kalau mendoktrin padahal saya masih bodoh bgt. Saya hanya membikin bingung tanpa memberi solusi yang pasti. Saya ABG labil banget gitu, saya pikir. Mungkin juga kalam Muktadzilah minded waktu itu -sekeluar saya dari Syiah yang katanya ilmiah tapi juga mistis. Tapi lebih tepatnya karena saya percaya pada ilmu, saya antusias untuk mencari kejelasan di tengah-tengah paradigma hingga wacana yang saling bentrokan...

Lantas di kelas filsafat, awal-awal saya cuma aktif bertanya juga sih, apa yang bisa saya lakukan. Pertanyaan itu penting karena dengan bertanya menjadikan ilmu smakin berkembang sehingga muncul pertanyaan baru, ilmu baru, dst... Partisipatif. Dialektis, suka kongkow dan ngobrol sok filosofis aja pokoknya...

Pengalaman dan perasaanku selama menjalani keduanya secara bersamaan, yaitu merasa lebih karena mampu menggabungkan dua paradigma yang berbeda. Di saintek anak-anaknya rapi-rapi, rajin-rajin, tertib mengerjakan tugas, dan siap diajak maju. Kelemahannya, lemah keilmuan sains nya karena kurang baca buku tapi waktu lebih tersita untuk mengerjakan tugas/ laporan praktikum... paradigma masih seperti anak SMA yaitu lebih mementingkan nilai daripada ilmunya... Di kelas filsafat saya akui pola pikirnya sudah maju, sibukbaca buku sehingga kritiknya, diri tidak diperhatikan, tidak rapi, sulit diajak maju karena prakteknya masih tradisi masih-belum reformis. Contoh dereformis braok -tidak bisa didengarkan dan tidak rapi sehingga tidak enak dilihat. Seperti jaman orba saja padahal ini kan sudah era reformasi sehingga pendekatan demonstrasi perlu diiperbarui lagi... Selain itu saya jadi tahu bahwa paradigma "integrasi-inrkoneksi" yang sudah santer menggema di buku-buku atau kajian akademik baru sebatas wacana. Sedangkan prakteknya? "Wallohu a'lam" begitulah jawabnya simpel ketika saya tanya macam-macam. kalau ada ya hanya islamisasi ilmu lewat mendalilkan ilmu supaya nilai praktikum jadi bagus... Wk, mungkin juga karena dosennya banyak yang dari luar uin... O ya saya pernah baca di KR di UIN katanya ada laboratorium bioetik gitu? Yang dilaunching? Tapi sampai hari ini saya cari belum juga ketemu. Ketua asisten Lab bilang belum ada. (jadilah aku korban dari wacana 'integrasi-interkoneksi itu).

Sempat diajakin teman bikin komunitas/ gerakan... saya punya ide gerakan seni yang progresif dan eklusif... supaya lebih dihargai... tapi saya sedang egois sibuk mikirin diri sendiri... Dualisme itu juga hanya persoalan waktu aja. Saya sempat untuk mengurusi dua-duanya, tapi waktu untuk diri saya tak ada. Itulah masalahnya... Jadi kurang bisa maksimal/ menguasai dua-duanya..:.Anggaran juga pas-pasan untuk dua-duanya, sehingga anggaran beli buku masih kurang dan selalu kurang saya kira... Kata teman saintek jalani saja, formalitas lah! Tapi mau ditaruh di mana jiwa saya..? Entah kenapa orang jaman sekarang menyembah struktur-struktur.

Posting Komentar

0 Komentar